Dialektika Politik Ruang Membutuhkan Urgensi dalam Pilkada
Kontestasi Pilkada 2024 memasuki momentum strategis; ini adalah periode kampanye yang melibatkan percakapan politik dan interaksi antara masyarakat dan kandidat. Tidak dÃŒragukan lagi, kita tidak mengharapkan para kandidat memonopoli seluruh kampanye mereka dengan orasi monolog, penggunaan alat peraga kampanye seperti baliho, poster, dan bendera, serta buzzer di media sosial. Tidak ada dari hal-hal ini yang akan memungkinkan ruang politik untuk diskusi tentang masalah daerah yang sangat strategis dan penting bagi masyarakat.
Kebijakan politik ruang akan sangat berkaitan dengan praktik spasial masyarakat, terutama dalam konteks pembangunan struktur dan pola ruang kewilayahan materiil dan berkelindan. Isu-isu dan kebijakan politik terkait industrialisasi, perubahan iklim, dan ekologi sangat berkaitan dengan praktik spasial masyarakat.
Dalam konteks ini, masalah politik ruang menjadi sangat penting untuk momentum pilkada karena membantu menentukan apa yang akan dÃŒbicarakan dan siapa aktor politik utama yang secara langsung bertanggung jawab atas kebijakan tata ruang dan perencanaan pembangunan daerah.
Keputusan tentang alokasi lahan, dÃŒstribusi sumber daya, prioritas pembangunan, dan penggunaan ruang publik akan dÃŒpegang oleh kandidat yang terpilih. Keputusan ini akan berdampak pada arah perkembangan wilayah, baik dalam hal estetika, fungsi, maupun efisiensi tata ruang.
Oleh karena itu, pilkada harus menjadi tempat kandidat mempresentasikan gagasan mereka tentang bagaimana kota akan dÃŒbentuk. Apakah melalui pembangunan infrastruktur besar, kawasan industri, permukiman, atau ruang hijau yang berhubungan dengan struktur fisik dan sosial kota? Selain itu, mempengaruhi pendapat warga tentang kualitas hidup di daerah tersebut.
Pilkada adalah peristiwa penting dÌ mana berbagai makna ruang dÌperdebatkan dan dÌtunjukkan dalam kebijakan pembangunan daerah.
Konsep dasar dari politik ruang
Di dalam lanskap politik ruang, ruang dÃŒlihat sebagai konstruksi sosial, politik, dan budaya yang penuh dengan makna, kepentingan, dan kekuasaan. Ini bukan sekadar kewilayahan fisik, seperti kota, kabupaten, atau provinsi, berdasarkan angka dan statistik bangunan fisik dan teknis-administratif.
Secara sederhana, interaksi sosial, hubungan kekuasaan, dan simbolisme membentuk ruang (Lefebvre, 1991; Soja, 1996). Menurut perspektif ini, setiap ruang, baik lingkungan maupun publik, memiliki makna yang dÃŒciptakan oleh interaksi antara masyarakat, korporasi, dan aktor politik.
Misalnya, kebijakan pembangunan kota yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi terus menghasilkan ruang kota melalui industrialisasi, perdagangan, dan aktivitas lain yang membutuhkan kapitalisasi ruang yang tinggi.
Karena analisis di atas, pilkada tidak hanya menentukan tata letak fisik ruang di mana bangunan dibangun, tetapi juga menentukan makna ruang dan bagaimana maknanya membentuk dan menghasilkan praktik sosial dan ekonomi. Pemerintah daerah yang dipilih melalui pilkada akan menetapkan kebijakan tentang distribusi sumber daya, akses ke layanan publik, dan pembangunan infrastruktur. Kebijakan-kebijakan ini akan memengaruhi siapa yang memiliki otoritas dan siapa yang terpinggirkan di ruang kota.
Dengan demikian, konstruksi ruang sosial yang terbentuk merupakan dinamika dari masyarakat modernisasi dan industri. Sebaliknya, di ruang-ruang yang dÃŒdominasi ideologi ekologi, pembangunan ruang selalu terkait dengan keberlanjutan lingkungan.
Ruang kota sering kali digunakan untuk kepentingan ekonomi dan politik. Ruang tertentu dÃŒprioritaskan untuk dibangun atau dÃŒlindungi, sementara area lain dapat dÃŒbiarkan atau dÃŒalihkan untuk tujuan bisnis yang signifikan. Ini termasuk menghadapi kontestasi ruang, perebutan hak atas ruang, konflik agraria, keterasingan masyarakat setempat yang dÃŒsebabkan oleh pembangunan, dan modernisasi melalui kapitalisasi ruang (Harvey, 2008).
Untuk itu, sangat penting bagi masyarakat untuk berpartisipasi sejak awal dalam pembicaraan tentang ruang wilayah, rencana tata ruang, dan pembangunan ke depan.
Dilema politik ruang
Dalam kenyataannya, pilkada berfungsi sebagai alat untuk memberikan justifikasi politik publik dan memprioritaskan kepentingan masyarakat lokal. Ini dapat menyebabkan dialektika politik di ruang lingkup yang berbeda yang dibahas dan dibangun oleh para kandidat. Kandidat pilkada sering kali membuat cerita tentang pembangunan kota, yang memengaruhi pandangan masyarakat tentang ruang kota.
Misalnya, visi pembangunan kota modern, berkelanjutan, atau ramah lingkungan dapat dÃŒmasukkan ke dalam kampanye politik yang menentukan persepsi publik tentang kota ideal. Kelompok yang lebih berkuasa sering menggunakan persepsi yang terbangun untuk mendapatkan kekuasaan di ruang.
Setelah kemenangan, calon pemenang dÃŒberi wewenang untuk mengelola wilayah kota. Proyek besar yang berpotensi menguntungkan kelompok elit ekonomi dan politik seringkali dÃŒlaksanakan dengan legitimasi ini (Smith, 1984).
Setelah pilkada, kebijakan ruang dapat memberikan kekuatan politik tertentu di wilayah tertentu. Ini dapat terjadi dengan mengarahkan proyek pembangunan ke wilayah yang mendukung kandidat tertentu atau dengan mengabaikan wilayah yang tidak mendukung politik.
Jadi, sangat penting bagi masyarakat untuk memahami diskusi tentang pembangunan daerah. Apakah industrialisasi dan pengembangan komersial semata-mata dÃŒlakukan untuk pertumbuhan ekonomi wilayah atau upaya untuk meningkatkan ruang hijau dan infrastruktur sosial untuk mengatasi ketimpangan dan masalah keberlanjutan lingkungan lebih dÃŒprioritaskan?
Persepsi ruang masyarakat akan memengaruhi bagaimana mereka melihat wilayah mereka, serta ruang mana yang dÃŒanggap penting untuk pertumbuhan sosial dan ekonomi kota. Kepala daerah terpilih memiliki peran yang signifikan dalam menentukan perkembangan kota, terutama untuk proyek besar seperti jalan tol, perumahan, pusat bisnis, atau tempat rekreasi.
Proses di mana berbagai pihak (pengembang, masyarakat, pemerintah, dan organisasi sipil) berusaha memengaruhi cara ruang ini akan dÃŒkelola dan dÃŒkembangkan dÃŒkenal sebagai pemilihan. Pengembang besar dan kandidat pembangunan biasanya berfokus pada investasi komersial dan privatisasi ruang publik, yang dapat membatasi akses publik ke ruang kota.
Namun, calon yang lebih populis atau inklusif mungkin menekankan aksesibilitas ruang kota bagi semua kalangan. utamanya mendukung hak ruang bagi kelompok marjinal, seperti permukiman informal, wilayah kumuh, atau kelompok masyarakat miskin, untuk mendapatkan hak ruang sosial dan fisik.
Apakah ruang ini akan dÃŒgusur atau dÃŒberdayakan melalui program revitalisasi atau pengembangan yang inklusif akan dÃŒtentukan oleh kebijakan kepala daerah terpilih.
Dalam beberapa situasi, rumah-rumah yang dÃŒhuni oleh masyarakat miskin sering dÃŒanggap sebagai penghalang pembangunan, dan oleh karena itu menjadi sasaran penggusuran untuk proyek modernisasi atau infrastruktur besar. Potret ini sangat terlihat pada kebijakan tata ruang yang dÃŒbuat, yang seringkali berdampak pada kelestarian lingkungan dan urbanisasi.
Seringkali, proses politik mengabaikan masalah seperti pertumbuhan kota yang tidak terkontrol, penggundulan lahan, alih fungsi lahan untuk kapitalisasi ruang, dan pembangunan infrastruktur besar yang mengabaikan dampak ekologis.
Mereka yang memahami bahwa pembangunan kota harus mengintegrasikan elemen ekologis akan lebih cenderung membuat kebijakan yang berkelanjutan seperti menjaga ruang terbuka hijau, melindungi wilayah hutan kota, dan menangani dampak negatif dari pembangunan yang cepat.
Sebaliknya, kebijakan yang inklusif dapat mendorong inisiatif yang meningkatkan kualitas hidup orang dan menciptakan ruang publik yang dapat dÃŒakses oleh semua orang, termasuk orang marjinal.
Jadi, dalam konteks politik ruang, pilkada tidak hanya tempat perebutan kekuasaan, tetapi juga tempat diskusi publik tentang proses pembangunan, yang berdampak pada pembentukan dan pembentukan ruang sosial masyarakat. Kehidupan sosial masyarakat di masa depan akan sangat dÃŒpengaruhi oleh rencana pembangunan daerah.
Oleh : Galang Geraldy, Dosen FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (kompas.id)